Mobile Menu

Burno adalah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, dengan pemisahan kata menjadi dua suku kata: BUR – NO. Kata ini mengandung arti “Tanah Subur Tanduran Ono” (Artinya: Tanah yang subur dan cocok untuk ditanami apa saja). Kata ini diucapkan pertama kali oleh nenek moyang masyarakat Burno yang bernama Embah Karminten. Beliau adalah orang pertama yang membuka hutan belantara di daerah itu dan mendirikan pondok kecil sebagai tempat peristirahatan. Lambat laun, sanak saudara Embah Karminten menyusul dan ikut mengelola hutan tersebut. Semakin banyak orang yang datang dan membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Dari mulut ke mulut, mereka menceritakan tentang kesuburan tanah di Burno, sehingga banyak orang tertarik untuk datang. Dalam bahasa Jawa, “Burno” berarti “Tanah Subur Sembarang Ono” (Artinya: Tanah yang subur dan apa saja bisa tumbuh di sana). Pada tahun 1918, di masa penjajahan Belanda, hutan belantara itu resmi diberi nama Burno dan kemudian berkembang menjadi sebuah desa. Petinggi rakyat (Kepala Desa) pertama di Burno adalah Kartojo, yang menjabat dari tahun 1918 hingga 1921. Setelah itu, kepemimpinan beralih ke Wiryorejo hingga tahun 1928. Kemudian, Sukir Noto Laksono menjadi kepala desa. Sayangnya, beliau meninggal dunia karena ditembak oleh Belanda pada tahun 1948. Selama beberapa tahun berikutnya, Desa Burno mengalami kekosongan kepemimpinan dan krisis pangan. Pada tahun 1952, melalui pemilihan langsung, Tenggono terpilih menjadi kepala desa dan menjabat selama 28 tahun (1953-1981). Beliau adalah kepala desa yang paling lama menjabat. Setelah Tenggono, kepemimpinan Desa Burno berganti ke tangan Ketang Kertoraharjo (1981-1986), Ngatali (1986-2002), Sampurno (2002-2007 dan 2014-2019), dan Sutondo (2008-2013 dan 2020 hingga sekarang).

Portal Desa Burno
Scroll to Top